Santer terdengar belakangan ini tentang fatwa BPJS haram. Di bawah ini
ada beberapa pernyataan tanpa membahas aspek kesehatan. Ini murni
pengklasifikasian rincian hukum BPJS, ada 3 (tiga) yaitu:
- PBI (Peserta Bantuan Iuran) yakni murni gratis dengan subsidi dari pemerintah bagi WNI yang telah direkomendasikan sebagai warga yang tidak mampu.
- Non PBI diperuntukkan bagi PNS/POLRI/TNI/ABRI, organisasi, lembaga dan perusahaan. Ini ditanggung oleh instansi yang bersangkutan dan juga sebagiannya ditanggung peserta.
- Mandiri yakni bersifat premi iuran dengan tiga kategori kelas sebagaimana telah disebutkan. Jika terjadi keterlambatan menyetor iuran maka terkena denda dan ini masuk kategori unsur riba dan gharar.
Jadi, BPJS yg diperbolehkan adalah kategori 1 (satu) karena murni gratis tanpa premi dan tanpa denda. Kategori 2 (dua) dibolehkan bila tanpa premi (tidak ada premi yang dipotong dari gaji) dan tidak ada denda.
Jika Sakit Parah dan Untuk Berobat Butuh Biaya Besar
Jika kita tidak bisa masuk kategori 1 karena tidak ada rekomendasi dari
RT bahwa kita tidak mampu, kita juga tidak bisa ikut kategori 2 karena
kita bukan PNS atau semisalnya, maka bisa mendaftar BPJS ketika kondisi
dlm kedaruratan.
Contoh: Ada seseorang yang sakit parah hingga harus keluar biaya puluhan
juta. Awalnya keluarganya bukan kategori orang miskin. Namun saat itu
mereka benar-benar tidak mampu membayar biaya sebesar itu, maka boleh
bagi mereka mendaftar BPJS kategori 1, tentu dengan pengantar dari RT/RW
setempat.
Sedangkan kategori 3 (tiga), haram untuk diikuti dengan karena ada unsur
gharar dan riba. Ghararnya dari sisi spekulasi yang tinggi untuk rugi
karena resiko tidak bisa dipastikan. Accident belum pasti pula terjadi.
Pengertian gharar sebagaimana dikatakan oleh Al Jarjani,
مَا يَكُوْنُ مَجْهُوْلُ العَاقِبَةِ لاَ يَدْرِى أَيَكُوْنُ أَمْ لَا
“Sesuatu yang ujung-ujungnya tidak jelas, hasilnya akan ada ataukah tidak.” (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 31: 149).
Gharar seperti inilah yang dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli
hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari
jual beli ghoror.” (HR. Muslim no. 1513)
Contoh gharar di masa silam yang terlarang sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ
الْحَبَلَةِ ، وَكَانَ بَيْعًا يَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ ،
كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَ إِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang transaksi jual beli yang disebut dengan “habalul habalah”. Itu adalah jenis jual beli yang dilakoni masyarakat jahiliyah. “Habalul habalah” adalah transaksi jual beli yang bentuknya adalah: seorang yang membeli barang semisal unta secara tidak tunai. Jatuh tempo pembayarannya adalah ketika cucu dari seekor unta yang dimiliki oleh penjual lahir.” (HR. Bukhari, no. 2143 dan Muslim, no. 3883). Cucu dari unta tersebut tidak jelas diperoleh kapankah waktunya. Pembayarannya baru akan diberi setelah cucu unta tadi muncul dan tidak jelas waktunya. Bisa jadi pula unta tersebut tidak memiliki cucu. Itulah ghoror karena ujung akhirnya tidaklah jelas diperoleh.
Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi berpendapat bahwa sebagian besar dengan
adanya BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap
rakyatnya, hanya saja karena ada satu akad yang mengandung unsur ribawi
yakni bila terjadinya keterlambatan pembayaran maka pada bulan
berikutnya akan dikenakan denda Rp 10.000. Unsur inilah yang pada
akhirnya dipermasalahkan dan menjadikan BPJS: haram.(Dinukil
dariSalamDakwah.Com).
Namun pendapat “BPJS ini sangat baik dan bagus dari pemerintah terhadap
rakyatnya tersebut jangan ditelan mentah-mentah” sebab di samping itu
pula, masyarakat harus diberi tahu lebih dari segi konteks yang mendalam
yaitu ada factor eksternal dari sisi kebijakan negara yang bersifat
ideologis di luar sana-yang hendak menancapkan “kuku”
kebijakan kapitalisme. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat Islam
khususnya di Indonesia dapat memikirkan langkah konkrit menampik
kebijakan dzolim tersebut dengan sikap politik “buka suara di media”.
Memang juga ada yang menyatakan yang dilakukan BPJS (alat perpanjangan
kebijakan kesehatan dari pemerintah) memakai asas gotong royong.
Sebenarnya asas gotong royong dapat dilakukan selama Negara dalam
keadaan darurat seperti terjadinya bencana besar dan uang kas Negara
yang sekarat. Namun selama kekayaan alam melimpah ruah di negeri ini,
justru sangat ironis jika masyarakat (golongan mampu) “dibajak” uangnya
dengan dalih membantu yang tidak mampu. Hal ini sudah masuk kategori
pembelokan makna kebijakan yang sebenarnya.
Sejatinya dan yang lebih baik adalah masyarakat diberikan pelayanan
kesehatan yang gratis alias tidak mengeluarkan biaya sepeserpun,
sehingga hal ini wajib dilakukan pemerintah. Jelas tidak bisa berharap
lebih pada pemerintah yang memakai sistem kebijakan neokapitalisme
sekarang ini.
Beginilah jika kita sudah masuk zaman yang rusak, aturan syariat Islam
dari sisi manapun hanya beberapa saja yang dijadikan sumber kebijakan,
namun tidak secara menyeluruh. Wajar jika ada yang menyebut, “kita ini
sudah masuk ke era ikuti perilaku masyarakat jahiliyah di zaman dahulu.
Memang ada yang berhati hanif di kalangan masyarakat untuk tidak ingin
terkena riba, namun kondisi pekerjaanlah yang memaksa mereka untuk
terkena riba dan gharar, tentunya kita sebagai umat muslim patut
prihatin mengenai kondisi sosial seperti ini-juga lebih baik pula kita
mengutarakan pendapat agar masyarakat yang tidak tahu menjadi tahu-serta
mendoakan masyarakat Islam (yang tidak ada inisiatif dalam hatinya
terkena riba) agar terhindar dari bahaya riba.
Selamanya kebijakan batil akan bersitegang dengan petuah yang sesuai
dengan akal logika manusia yang bersumber dari AlQuran dan As Sunnah.
Semoga kita dapat cerdas mensiasati serangan benturan pemikiran yang
mengarah hendak menjatuhkan pemikiran Islam di tengah masyarakat. [Rizki Wibisono, SKM (Mahasiswa pascasarjana Kesehatan dan Keselamatan Kerja - K3 Unair dan anggota Lajnah Ma'aliyah DPP HTI)]
Sumber: Visimuslim.net