sahabat |
Kepribadian atau perilaku seseorang
biasanya sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya. Karena itu, tak salah
jika dikatakan, “Bergaul dengan tukang minyak wangi akan kecipratan wanginya.
Bergaul dengan ‘pandai besi’ akan terpercik apinya.”
Ini sebetulnya sesuai dengan sabda Baginda Nabi SAW, sebagaimana
penuturan Abu Musa al-Asy’ari ra., yang menyatakan, “Sesungguhnya kawan duduk dalam rupa orang yang shalih dan kawan
duduk dalam rupa orang yang suka maksiat adalah seumpama tukang minyak wangi
dan pandai besi. Tukang minyak wangi boleh jadi akan mencipratkan minyak wangi
ke badanmu, atau engkau membeli minyak wangi dari dia, atau engkau mendapatkan
bau harum dari dirinya. Adapun pandai besi boleh jadi memercikkan api ke bajumu
atau engkau mendapati bau busuk dari dirinya.” (Mutaffaq
‘alaih).
Maknanya, bergaul dengan orang baik
akan terbawa baik atau kecipratan kebaikannya. Sebaliknya, bergaul dengan orang
jahat akan terbawa jahat atau kecipratan keburukannya. Dalam hal ini, seseorang
biasanya akan mencontoh perilaku orang lain yang ada dalam lingkungan
pergaulannya.
Di sisi lain, seseorang biasanya akan bergaul dengan orang yang
ia sukai atau ia cintai, dan ia tidak akan bergaul dengan orang yang ia benci.
Karena itu, mencintai kebajikan dan para pelakunya, itulah yang sejatinya harus
ditunjukkan oleh seorang Muslim. Sebab, Baginda Nabi SAW pernah bersabda kepada
Abu Dzar ra., “Anta ma’a man ahbabta (Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai).” (HR
al-Bazzar).
Seorang Muslim yang baik sejatinya memahami benar ungkapan dan
hadits di atas. Karena itu, dalam kehidupan kesehariannya, ia akan banyak
bergaul dengan orang-orang shalih dan bertakwa; bukan banyak bergaul dengan
para pendosa dan tukang maksiat. Dengan kata lain, ia akan selalu ber-mujalasah (duduk-duduk atau bergaul) dengan para
pelaku kebajikan (ahl al-khayr), bukan dengan para
pelaku keburukan (ahl al-ma’shiyah). Dalam hal ini,
Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Al-Mar’u ‘ala dini khalilihi,
falyanzhur ahadukum man yukhalilu (Seseorang itu bergantung pada
agama sahabatnya. Karena itu, hendaklah salah seorang di antara kalian
memperhatikan dengan siapa ia bersahabat).” (HR Abu Dawud).
Hadits ini menunjukkan dengan tegas konsekuensi dari
persahabatan seseorang, baik dengan orang yang baik ataupun dengan orang yang
buruk. Sahabat yang paling dekat bagi seseorang tentu saja adalah
istri/suaminya. Sebab, kehidupan suami-istri sesungguhnya adalah kehidupan
persahabatan. Karena itulah, terkait dengan mencari pasangan dalam rangka
membangun kehidupan rumah tangga, Baginda Rasulullah SAW pernah memberikan
tuntunan, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara:
karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya; karena agama (ketakwaan)-nya.
Maka dari itu, carilah wanita (untuk dijadikan istri) yang bagus agamanya,
niscaya engkau beruntung.” (Muttaffaq ‘alaih).
Beberapa sabda Baginda Nabi SAW di atas tegas mengajari kita
untuk selalu bergaul dan bersahabat dengan orang-orang yang shalih atau yang
bagus agamanya. Dalam kesempatan lain Baginda Rasulullah SAW bersabda, “La tushahib illa mu’min[an] wala ya’kul illa taqiy[un] (Janganlah
engkau bersahabat kecuali dengan orang Mukmin. Janganlah memakan makananmu
kecuali orang yang bertakwa.” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
Maknanya, kita harus banyak bergaul dan bersahabat dengan orang
Mukmin dan bertakwa. Lebih baik lagi, seorang Muslim hendaklah banyak bergaul
dengan para ulama dan para pengemban dakwah yang mukhlish. Sebab, dengan banyak bergaul dengan mereka,
selain kita akan menjadi orang-orang shalih atau berperilaku baik, juga
memungkinkan diri kita menjadi mushlih, yakni
terdorong untuk selalu melakukan perbaikan di tengah-tengah masyarakat. Jika
kita tidak sanggup bergaul dengan mereka, maka cintailah mereka, jangan
memusuhi mereka. Sebab, sabda Nabi SAW, “Al-Mar’u ma’a man ahabba (Seseorang akan bersama dengan orang yang dia cintai).” (Mutaffaq
‘alaih).
Selain itu, ada riwayat penuturan Anas ra, bahwa seorang Arab
pedalaman pernah bertanya kepada Baginda Rasulullah, “Kapan Hari Kiamat?”
Baginda balik bertanya, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk menghadapi
Kiamat?” Ia menjawab, “Cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Baginda
bersabda, “Engkau akan bersama dengan yang engkau
cintai.” (Mutaffaq ‘alaih).